Udaipur – Hari kedua

Jam 6.15 aku naik auto ke gereja karena aku enggak tau misanya mulai jam berapa di Church of Our Lady of Fatima. Sempat bete karena auto-nya matok kemahalan (Rs 80), tapi ya sudahlah memang agak jauh dan masih pagi pula. Nah, ada cerita lucu di gereja.

Awalnya aku bingung, kok cuma ada 4 kelompok bangku di gereja dan bagian tengah gereja kok kosong melompong. Apa sesedikit itukah yang datang ke gereja?? (Ini adalah satu-satunya gereja Katolik di Udaipur) Pas lagi berdoa sebelum misa, tiba-tiba seorang pastor menghampiri aku dan nyuruh aku naruh sepatu di luar gereja. Ohhh ternyata umat duduk di lantai di gereja ini. Oalaahh.. Sebelum misa dimulai, mereka melakukan novena kepada Our Lady of Fatima dalam bahasa Inggris. Namun, misa dirayakan dalam bahasa Hindi. Ini adalah misa berbahasa Hindi yang kedua kalinya buatku. Yah enggak papalah, yang penting bisa menerima Tubuh Kristus. Hehehe.

Di samping altar ada sebuah patung Our Lady of Fatima. Setelah misa, orang-orang berbondong-bondong berdoa kepada Bunda Maria, minta pertolongan Bunda Maria. Wah, devosinya benar-benar kuat sekali di sini. Di Cathedral of the Sacred Heart (New Delhi) juga orang-orang banyak berdoa di depan patung Bunda Maria dan santo-santa sesudah misa, enggak langsung kabur gitu aja. Hal ini mengingatkanku pada Novena Church di Singapur.

Kembali ke hotel, ada 2 teman yang datang dari Jaipur sehingga total kami berlima ke City Palace. Untungnya Cui Shan sudah menyuruh kami membawa kartu pelajar sehingga kami cukup membayar Rs 30. Kami tidak membayar biaya kamera Rs 200 sehingga saat tas diperiksa, kami pasrah harus nitip kamera di counter. Hikzzz….

City Palace dari luar tampak megah sekali. Arsitektur di bagian dalamnya sebenarnya tidak terlalu “Wah”, tetapi detailnya sangat menakjubkan. Favoritku adalah mozaik merak dari kaca berwarna-warni yang dibuat pada masa pemerintahan Maharaja Swarup Singhji (1842) di ruangan yang bernama Manek Mahal yang dibangun oleh Maharaja Karan Singhji (1620-1628). Cantik bangetttt!!! Favoritku yang kedua adalah sebuah simbol matahari yang terbuat dari tembaga berlapis emas yang dibuat pada masa pemerintahan Maharaja Bhupal Singhji (1930-1955). Lukisan-lukisan di sepanjang tembok istana juga sangat menarik dan detail. Lukisan ini mengingatkanku pada mata kuliah Thai Painting. Seorang temanku berkomentar, “Ih kok lukisannya enggak proposional.” Aku teringat kata dosenku bahwa lukisan tradisional Thai tidak mengenal kata perspektif dan aliran realisme. Hipotesisku adalah karena gaya lukisan Thai juga banyak dipengaruhi India, mungkin lukisan tradisional India juga tidak mengenal istilah perspektif dan realisme. Oleh sebab itu, wajar jika di sebuah lukisan, hanya tampak lembah yang enggak jelas batas langit dan buminya serta ukuran lukisan manusia dan macan yang diburu tidak berbeda. Nah, saat kami hendak keluar dari City Palace, ada sebuah tulisan mendeskripsikan sejarah lukisan Mewar (satu daerah yang meliputi Udaipur dan sekitarnya). Lukisan pada abad ke-17 banyak menceritakan tentang perumpaan di cerita rakyat dan kehidupan raja, sedangkan lukisan pada abad ke-18 banyak menceritakan tentang tema spiritualitas dan peristiwa-peristiwa penting di istana. Baru pada abad ke-19 tanpa sadar mereka mulai terpengaruh gaya lukisan Barat yang meliputi perspektif dan aliran naturalis. Kalau diperhatikan, gaya dekorasi bunga dan daun di lukisan-lukisan istana ini juga serupa dengan yang ditemukan di lukisan-lukisan di Thailand. Nah, menariknya lagi, ada sebuah lukisan tentang adegan arak-arakan istana (itu lhoo yang biasa ada beberapa baris orang di depan kereta kuda diikuti beberapa baris orang lainnya). Ternyata tiap baris ada namanya. Rombongan ini bernama Nobti-Ki-Sawari. Barisan orang pertama yang tampaknya bertugas menyiram jalan disebut Bhisti. Baris kedua yang menyapu jalan adalah Jamadar. Baris ketiga yang membawa semacam drum adalah Nagarchi. Barisan keempat adalah Nishan dan kelima adalah Hakam. Barisan keenam disebut Beda ra jawan diikuti oleh rombongan marching band dan barisan bernama rakankan. Barisan yang naik kuda bernama Kotal, diikuti oleh karkhana, risala, lawajma, risala hakam, dan barisan terakhir adalah ardars.

Secara umum, City Palace terdiri dari tiga bagian dan salah satu bagian dari istana tersebut masih ditinggali maharaja mereka. Setiap ruangan di City Palace dibangun oleh raja yang berbeda-beda. Dari atas City Palace, kita bisa melihat pemandangan Pichola Lake yang tepat berada di belakang istana. Kurang lebih kami mengitari City Palace selama 3 jam.

Setelah itu, kami berjalan kurang lebih selama 45 menit (teman-temanku ngotot bahwa kami cuma berjalan selama setengah jam) mencari Bahu Bazaar yang merupakan sebuah pasar. Namun, saat sudah tiba di Bahu Bazaar, kami memutuskan untuk menuju Natraj Hotel yang memiliki sebuah restoran buffet thali seharga Rs 80 per kepala!! Hwahhhh… awalnya aku udah bete dan mikir kenapa sih enggak makan yang dekat-dekat saja, tapi pas tahu bahwa itu adalah buffet, langsung sumringah. Hahaha. Aku makan 2 chapatti, satu porsi nasi, 2 kentang, 3 gorengan yang aku enggak tahu namanya apa, kari, dan 4 buah pappadam (keripiknya India). Ahahahaha.

Setelah makan dengan puas, kami naik auto ke Sunset Point (biarpun belum sunset, soalnya kereta kami berangkat jam 6 sore!) untuk naik cable car ke atas. Wahhhh pemandangan dari atas KERENNNNNNNN BANGETTTTTTT. Ditambah lagi gerimis-gerimis gitu jadi serasa di Puncak. Hehehe. Harga tiket cable car cuma Rs 69.

Sekitar jam setengah empat, kami ke Cafe maxim yang terdapat di buku panduan Lonely Planet. Aku beli honey lassi (semacam yoghurt) seharga Rs 50. Pemandangannya bagus, tetapi bagusan yang di Restoran Masala. Hehehe. Menariknya, di kafe ini kami bertemu seseorang yang berasal dari Dubai tetapi kuliah di Singapura. Dia menyapa kami karena melihat t-shirt NUS yang aku kenakan.

Perjalanan ke Udaipur benar-benar memuaskan!!! Arggggggghhh.. benar-benar cantik!! Suasananya juga santai dan orang-orangnya ramah, kontras banget dengan situasi di Bahadurgarh yang orang-orangnya cenderung kasar dan kotanya kotor dan penuh debu. Untung kami pergi ke Udaipur saat magang kami hampir berakhir. Kalau kami pergi ke Udaipur pas awal-awal, duh pasti rasanya nelangsa banget di Bahadurgarh. Hahaha.

Tinggalkan komentar